Matahari dan Bulan
Suatu pagi Matahari mulai terbit dengan
sumringah. Diiringi kokok ayam jantan dan deru kendaraan yang mulai meramaikan
suasana kota.
Dengan perlahan Matahari mulai
memancarkan rona keemasannya. Manusiapun segera bangkit dan menyambut pagi
dengan suka cita. Kilauan keemasannya tidak mampu membuat para pemalas untuk
melanjutkan mimpi kosongnya. Bangkit dan memulai langkah menuju masa depan.
Matahari begitu bangga, dia mempunyai
kilauan emas untuk menyertai manusia menghabiskan waktu pemberian Illahi.
Matahari mulai mencibir pada sang Bulan yang perlahan bersembunyi di belahan bumi lain.
"Ah, bulan tak ada apa-apanya, aku
lah si gagah perkasa yang mampu menerangi seisi dunia", kata Matahari
sambil membusungkan dada. Bulan hanya tersenyum simpul melihat kesombongan
Matahari.
Pagi pun beranjak siang, Matahari semakin lurus berada tegak di atas kepala. Kini dia berjalan semakin ke tengah dengan wujud yang sempurna. Kilauan emas yang hangat kini berubah menjadi sengatan yang panas. Semakin tersenyumlah Matahari, dialah pemilik cahaya terbesar di dunia ini.
Di siang yang benar-benar terik itu,
manusia pun mulai mencaci, menghujat, dan memaki sang Matahari.
"Dasar Matahari panas! Payah nih,
kulitku bisa gosong, mana gerah, benar-benar payah"
Sumpah serapah dari satu, dua ,tiga dan
bilangan tak terhingga lainnya mulai membuat Matahari gusar.
"Beginikah balasan manusia padaku?
Dari pagi aku terbit dan kini aku beri panas yang sempurna agar manusia bisa
berangkat kerja, bebas dari hujan, anak-anak bisa ke sekolah tanpa kebasahan,
ibu-ibu bisa ke pasar tanpa becek-becekan dan jemuran mereka pun kering semua.
Apa kekuranganku?"
Tak habis fikir sang Matahari pada
tabiat manusia. Akhirnya perlahan dia mengikuti titah Sang Maha Pengatur.
Beranjak ke ufuk barat dan mulai meredupkan kilau kebanggaannya. Sambil menunduk
menahan gusar akan segala tingkah laku manusia.
Waktu itu pun tiba, sang Matahari harus
benar-benar tenggelam. Berusaha hadir kembali di bagian dunia lain, berharap
ada manusia lain yang tidak mencaci dengan kata-kata busuknya.
Kini Matahari mulai melirik dengki pada
sang Bulan yang sedang berdandan cantik walau kilauannya begitu samar.
Dengan senyum mungilnya, sang Bulan pun mulai menampakkan diri perlahan. Baginya cahaya redup ini akan mempercantik penampilannya.
Di teras sebuah rumah mungil dan
sederhana. Dilihatnya ada dua pasang mata menatapnya penuh syahdu, saling
menautkan janji suci di bawah temaram cahayanya. Kecantikan sang Bulan seakan
menyempurnakan keindahan cinta mereka. Cinta yang membuat mereka semakin dekat
pada Sang Maha Cinta.
Dari balik jendela, Bulan pun melihat
ada sepasang mata yang menatapnya penuh harap. Gadis suci yang sedang memendam
rasa cintanya dalam diam. Sang gadis berandai seperti sang Bulan yang
kehadirannya dapat membuat orang jatuh cinta. Kapankah pangeran itu datang
untuk menerima cinta pengabdian dari sang gadis? Sang gadis pun tersenyum kecut.
Pangeran-pangeran itu kini tak banyak yang benar-benar mengharapkan cinta sejati sang gadis. Mereka sibuk mencari gadis yang molek. Atau sebagian dari pangeran itu hatinya pengecut! Tak ada keberanian bak ksatria tangguh yang mengangkat janji berat nan suci di hadapan penghulu. Mereka mundur teratur dengan alasan ketidakmampuan.
Sedangkan di hamparan sepetak kasur lantai, Bulan pun mengintip sepasang mata pangeran yang memandang tajam langit-langit kamar. Bermain dengan imijinasi sedang bersanding dengan gadis idaman. Sebenarnya tak ingin dia meninggalkan sang gadis dalam kesendirian, tetapi mengapa beban terasa berat saat banyak syarat yang diajukan. Ah aku tak sanggup menghidupinya hanya dengan cinta. Sang pangeran pun pasrah.
Sang Bulan pun kecewa, ternyata
kehadirannya tak selamanya membuat manusia bahagia. Kini dia tahu, sepasang
hati yang terpisah itu menginginkan Matahari segera terbit. Mereka ingin
memulai hari baru dengan lembaran baru, tanpa duka dan kecewa.
Semakin larut mereka terlelap dalam
keheningan malam. Bulan hanya mampu menyelimuti mereka dengan sedikit cahaya
temaramnya, berharap mereka lelap dan siap bangun menyongsong esok hari.
Kini sang Bulan sadar, dengan segala
kecantikannya, dia belum bisa menyenangkan semua manusia. Perlahan dia
bersembunyi di balik awan, menanti sang Matahari datang kembali.
Akhirnya, matahari dan Bulan pun saling tersenyum. Ternyata kilauan keemasan sang Matahari dan temaramnya cahaya Bulan takkan mampu membahagiakan semua manusia. Mereka sadar bahwa mereka tak memiliki kesempurnaan yang layak dibanggakan. Kini mereka juga sadar bahwa manusia pun tak layak mereka curi perhatiannya. Tak perlu berharap sanjungan manusia yang kadang tak tulus dan tak perlu takut akan cacian manusia yang takkan bisa merugikannya. Tetap bersujud dan taat saja pada Sang Maha Sempurna. Menyerahkan cinta sejati hanya padaNya.
No comments:
Post a Comment