Tuesday, October 11, 2016

Bukan Cinta Biasa (Cerpen)


Dengan perlahan kukeluarkan sepeda butut yang sudah gak jelas warnanya, antara coklat, abu-abu atau hitam. Semua warna seakan melebur menjadi satu, karatan, cat yang mengelupas dan warna logam dalamnya. Suara pintu berderit pelan, kuangkat daun pintu sedikit agar tak terlalu berisik. Pagi ini aku harus segera berangkat ke pusat agen gas melon di toko dekat pasar. Setelah tadi malam dapat kabar dari anak perempuanku , si denok Tipah, bahwa persediaan gas 3 kiloan yang sering kami sebut gas melon mulai langka, maka aku segera putuskan untuk ikut antri pagi pagi agar kebagian gas melon itu.

Setelah berjuang keluar rumah di pagi buta, segera aku kayuh sepeda butut ini menuju toko agen pusat gas melon. Toko itu lumayan jauh jaraknya. Aku harus melewati jembatan kali Cisadane dan ikut berpacu bersama bus-bus karyawan pabrik yang memang harus berangkat di pagi ini untuk menjemput karyawannya yang sudah menunggu di setiap tepi jalan menuju kawasan industri di tangerang dan sekitarnya.

Itulah kegiatan rutinku di pagi hari setelah sholat shubuh akhir-akhir ini. Ikut mengantri hanya untuk mendapatkan beberapa tabung gas melon pesanan para tetangga. Tak banyak memang yang dapat aku angkut dengan sepeda bututku ini. Paling aku hanya bisa membawa 5 tabung gas sekali jalan. Dengan kain terpal yang aku ubah menjadi keranjang berkantung dua yang aku taruh di jok belakang sepeda. Kalau orang jawa bilang keronjot. Tapi bukan terbuat dari rotan atau bambu seperti di jawa sana. Lumayanlah aku dapat laba 2000 sampai 3000 perak untuk satu tabung gas.

“ Baru nyampe Mak?”
“ Eh kamu Tipah, iya nak, mak e tadi berangkatnya agak kesiangan, keluarin sepedanya susah, mak e takut bapakmu bangun, kan malah ga bisa jalan nanti kalau bapakmu bangun” sambil menurunkan 6 tabung gas dari keronjot plastik. Tangan mungil Tipah pun ikut menurunkannya.

“ Bapakmu dah bangun Nak?”
“ Sudah Mak, tadi dah aku suapin juga Mak, tinggal mandi aja. Nunggu mak e katanya”
“ Iya Nak, ntar abis ini Mak e mandiin bapakmu, trus nanti abis mandi, ajak bapakmu jalan-jalan di lapangan depan itu ya. Jangan lupa bawa adekmu, Joko, buat jagain kalau ada apa-apa”
“ Iya Mak, tuh Joko baru mainan gundu di depan rumah” kutengok sekilas Joko sedang bermain kelereng dengan anak tetangga.

Tipah melangkah menghampiri Joko adiknya yang umurnya hanya terpaut 1,5 tahun. Tipah  menyampaikan omongaku ke adiknya dan sekilas Joko menatapku dengan mata yang menahan kepedihan.

Ya Tipah dan Joko adalah buah hatiku dengan mas Ali. Tujuh  tahun silam aku dan mas Ali dipertemukan atau lebih tepatnya dijodohkan. Mas Ali adalah sosok pria pendiam, jarang bergaul tapi ganteng. Mas Ali berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Dia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Setelah orang tua mas Ali datang ke rumah ibu untuk melamarku waktu itu, ibu dan bapakku pun langsung menerima lamaran itu tanpa basa basi. Mereka taunya keluarga mas Ali adalah keluarga terpandang.

Setelah satu tahun menikah, aku baru menyadari ada keanehan dengan mas Ali. Kadang dia diam termenung tanpa suara sedikitpun. Duduk lalu mondar mandir seperti orang yang gelisah di teras depan rumah kontrakan kami yang sederhana. Setelah menikah memang kami langsung dibelikan rumah lengkap dengan perabotan seisinya tapi jauh dari kampung kami di Ciputat sana. Tapi rumah itu kini sudah berpindah tangan karena harus aku jual demi pengobatan mas Ali.

Setelah pernikahan kami berjalan 2 tahun, mas Ali benar benar aneh. Dia sering memeriksa pintu dan jendela berulang ulang. Bolak balik menengok ke kamarku hanya untuk memastikan aku ada disana sambil matanya terus melotot seakan akan mengawasi sesuatu atau takut sesuatu. Keadaan ini terus berulang ulang. Kecemasannya yang berlebihan akan takut seseorang yang masuk ke rumah atau takut aku pergi jauh ini kadang membuatnya terus bergerak mengelilingi rumah hingga beberapa kali. Aneh dan aneh sekali pikirku waktu itu. Pada puncaknya ketika aku hamil 5 bulan dia hampir saja melukai dirinya sendiri ketika aku belum pulang dari pasar. Hal ini diketahui oleh tetangga sebelah rumah karena mas Ali berteriak memanggil-manggil namaku dan ditemukan tangannya sudah berdarah dilukai sendiri oleh mas Ali. Mas Ali biasanya memakai kaca meja tamu atau meja makan untuk melukai dirinya sendiri. Entahlah sudah kemana meja-meja pemberian orang tua mas Ali itu sekarang. Bahkan jumlah piring dan gelaspun semakin hari semakin berkurang dan akhirnya aku ganti dengan piring dan gelas plastik. Demi keamanan mas Ali.

Setelah tau keadan mas Ali, aku segera menemui keluarganya di Ciputat, waktu itu aku sedang hamil tua si Tipah. Sesampainya di keluarga mas Ali, aku diterima dengan dingin. Kuceritakan semua kejadian tentang mas Ali. Tanpa aku sangka keluarga mas Ali sudah tahu tetang kelainan yang dialami mas Ali dan mereka tidak mau mengurusi semua hal yang menyangkut keadaan mas Ali. Alasannya mereka sudah cukup baik hati dengan memberi kami sebuah rumah lengkap sedangkan urusan aku dan keadaan mas Ali itu sepenuhnya tanggung jawabku.

Lengkap sudah penderitaanku. Akhirnya sambil hamil tua aku harus bolak balik ke RSJ di jakarta. Demi kesembuhan mas Ali aku juga rela menjual rumah pemberian keluarga mas Ali karena mas Ali akhirnya dikeluarkan juga dari pabrik konveksi padahal dia baru bekerja satu tahun. Uang hasil jual rumah itu aku pakai untuk berobat mas Ali yang divonis terkena OCD (Obsesif Compulsif Disorder) yaitu semacam kelainan psikologis yang menyebabkan seseorang memiliki pikiran obsesif dan perilaku yang bersifat kompulsif. Kelainan ini ditandai dengan pikiran dan ketakutan tidak masuk akal (obsesi) yang dapat menyebabkan perilaku repetitif (kompulsi). Ah entahlah aku gak terlalu paham dengan jenis penyakit jiwa ini, yang aku tau mas Ali aneh.

Selang beberapa bulan mas Ali normal kembali tapi aku harus rajin bertemu dokternya. Hal ini membuatku kalang kabut dengan keuangan keluarga. Akhirnya aku harus bekerja. Apa aja aku lakukan dari buruh cuci, gosok dan bantu-bantu di rumah makan seberang jalan. Mas Ali sudah tidak bisa bekerja di pabrik lagi. Dia hanya diam di rumah. Dan kini kami dikaruniai dua anak yang seharusnya sudah masuk SD dan TK tapi mereka tidak bisa mengenyam itu semua dan hanya menunggui bapaknya di rumah sementara ibunya keluar rumah untuk sekedar mencari tetangga yang butuh tenaga bersih-bersih rumah atau cuci gosok. Ah mereka terlalu dini untuk merasakan kepedihan hidup ini. Mereka yang tidak tau apa-apa harus ikut menanggung keanehan bapaknya. Kadang aku merasa gusti Allah tidak adil.

“ Mak e…..bapak mak, bapak…!!”

Terikan Tipah membuatku tersadar dari lamunan yang panjang. Kulemparkan serbet kumal yang aku pakai untuk membersihkan karat di tabung gas melon itu. Segera aku lari menuju sumber suara. Kulihat joko menarik narik tangan bapaknya yang memegang serpihan kaca. Tangan mungil itu tampak terlalu lemah untuk menahan tepisan tangan bapaknya. Joko pun tersungkur jatuh ke depan karena lengannya tertarik oleh bapaknya. Tanpa suara Joko terus berusaha menarik lengan kanan bapaknya yang hendak melukai lengan kirinya dengan serpihan kaca. Tipah hanya bisa berteriak teriak sedangkan aku sudah keluar rumah sambil menyambar kerudung kumal diatas kursi. Tetanggapun mulai berdatanagn dan mengambil alih usaha Joko. Joko hanya duduk terdiam sambil melihat tajam adegan ini. Sungguh adegan yang tak layak ditonton oleh Tipah dan Joko yang masih ingusan ini. Kupeluk Tipah dan Joko dalam satu dekapan penuh dengan keringat dan air mata membaur jadi satu. Kami menangis tergugu dan joko hanya tertunduk menahan gelombang air mata yang hendak jatuh. Kami sudah lelah menjalani episode kehidupan seperti ini. Harus kemana aku kembalikan mas Ali yang seperti ini.

“Astaghfirulloh” lirihku

Sementara para tetangga membawa mas Ali keluar rumah dan mengguyurnya dengan beberapa ember air. Aku berusaha menguatkan diri bahwa aku dan anak-anak masih harus menghabiskan episode hidup di dunia ini. Diam, menyerah dan menangis bukanlah jawaban. Aku berdiri melepaskan pelukan dari Tipah dan Joko, beranjak keluar rumah dan menghampiri mas Ali yang duduk bersimpuh dengan badan basah kuyup . Para tetangga masih saja mengerumuninya. Kuhampiri mas Ali, kududuk menghadapnya, kuusap rambutnya yang basah sambil terus kuucapkan lafadz istighfar. Kuraih kepalanya yang masih terus menunduk, kudekapkan dalam –dalam hingga air mata dan keringat membaur dengan basahnya baju mas Ali.

“ Mas ini kau mas…ini aku …Astgahfirulloh..Astaghfirulloh..Eling mas..”

Suasana hening, hanya suara isak tangis yang terus menerus menyebut nama mas Ali.

“ Aku ada disini mas, aku selalu ada disini buat mas, aku ga pergi kemana-mana, aku hanya buat mas sampai kapanpun, mas Ali tenang ya, aku baik-baik saja, kita baik-baik saja”

Kueratkan dekapanku, kuyakinkan mas Ali bahwa aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun. Kuyakinkan mas Ali dengan terus membisikkan lafadz istighfar. Kuangkat wajahnya, kutatap matanya yang kosong. Aku berjanji tak kan pernah meninggalkan mas Ali sampai kapanpun.

Akhirnya para tetangga perlahan meninggalkan kami berdua, sementara Tipah dan Joko hanya melihat kami dari depan pintu rumah.
Kubantu mas Ali berdiri dan berjalan menuju rumah. Kupapah tubuh mas Ali yang dingin dan basah kuyup. Hingga di depan pintu mas Ali minta berhenti.

“ Kamu jangan pergi lagi seperti tadi pagi Nur”

“  Iya mas, aku ga kan pergi lagi” sambil mengangguk ringan aku jawab dengan lirih.

Ah entahlah bagaimana dengan esok hari. Sepertinya kali ini aku harus tega memberi obat tidur untuk mas Ali agar aku bisa mencari sesuatu buat dimakan.

“ Maafkan aku mas..”

Mas Ali masuk ke rumah dengan basah kuyup, Tipah dan Joko memisahkan diri untuk memberi jalan bapaknya, sedangkan aku menangis terisak memikirkan mas Ali, Tipah, Joko dan makan apa kami besok dan besok.



 ~SELESAI~



No comments:

Post a Comment