Tuesday, November 22, 2016

Tentang Matahari dan Bulan


Matahari dan Bulan


Suatu pagi Matahari mulai terbit dengan sumringah. Diiringi kokok ayam jantan dan deru kendaraan yang mulai meramaikan suasana kota.

Dengan perlahan Matahari mulai memancarkan rona keemasannya. Manusiapun segera bangkit dan menyambut pagi dengan suka cita. Kilauan keemasannya tidak mampu membuat para pemalas untuk melanjutkan mimpi kosongnya. Bangkit dan memulai langkah menuju masa depan.

Matahari begitu bangga, dia mempunyai kilauan emas untuk menyertai manusia menghabiskan waktu pemberian Illahi.

Matahari mulai mencibir pada sang Bulan yang perlahan bersembunyi di belahan bumi lain.
"Ah, bulan tak ada apa-apanya, aku lah si gagah perkasa yang mampu menerangi seisi dunia", kata Matahari sambil membusungkan dada. Bulan hanya tersenyum simpul melihat kesombongan Matahari.

Pagi pun beranjak siang, Matahari semakin lurus berada tegak di atas kepala. Kini dia berjalan semakin ke tengah dengan wujud yang sempurna. Kilauan emas yang hangat kini berubah menjadi sengatan yang panas. Semakin tersenyumlah Matahari, dialah pemilik cahaya terbesar di dunia ini.

Di siang yang benar-benar terik itu, manusia pun mulai mencaci, menghujat, dan memaki sang Matahari.
"Dasar Matahari panas! Payah nih, kulitku bisa gosong, mana gerah, benar-benar payah"

Sumpah serapah dari satu, dua ,tiga dan bilangan tak terhingga lainnya mulai membuat Matahari gusar.
"Beginikah balasan manusia padaku? Dari pagi aku terbit dan kini aku beri panas yang sempurna agar manusia bisa berangkat kerja, bebas dari hujan, anak-anak bisa ke sekolah tanpa kebasahan, ibu-ibu bisa ke pasar tanpa becek-becekan dan jemuran mereka pun kering semua. Apa kekuranganku?"

Tak habis fikir sang Matahari pada tabiat manusia. Akhirnya perlahan dia mengikuti titah Sang Maha Pengatur. Beranjak ke ufuk barat dan mulai meredupkan kilau kebanggaannya. Sambil menunduk menahan gusar akan segala tingkah laku manusia.

Waktu itu pun tiba, sang Matahari harus benar-benar tenggelam. Berusaha hadir kembali di bagian dunia lain, berharap ada manusia lain yang tidak mencaci dengan kata-kata busuknya.

Kini Matahari mulai melirik dengki pada sang Bulan yang sedang berdandan cantik walau kilauannya begitu samar.

Dengan senyum mungilnya, sang Bulan pun mulai menampakkan diri perlahan. Baginya cahaya redup ini akan mempercantik penampilannya.

Di teras sebuah rumah mungil dan sederhana. Dilihatnya ada dua pasang mata menatapnya penuh syahdu, saling menautkan janji suci di bawah temaram cahayanya. Kecantikan sang Bulan seakan menyempurnakan keindahan cinta mereka. Cinta yang membuat mereka semakin dekat pada Sang Maha Cinta.

Dari balik jendela, Bulan pun melihat ada sepasang mata yang menatapnya penuh harap. Gadis suci yang sedang memendam rasa cintanya dalam diam. Sang gadis berandai seperti sang Bulan yang kehadirannya dapat membuat orang jatuh cinta. Kapankah pangeran itu datang untuk menerima cinta pengabdian dari sang gadis? Sang gadis pun tersenyum kecut.

Pangeran-pangeran itu kini tak banyak yang benar-benar mengharapkan cinta sejati sang gadis. Mereka sibuk mencari gadis yang molek. Atau sebagian dari pangeran itu hatinya pengecut! Tak ada keberanian bak ksatria tangguh yang mengangkat janji berat nan suci di hadapan penghulu. Mereka mundur teratur dengan alasan ketidakmampuan.

Sedangkan di hamparan sepetak kasur lantai, Bulan pun mengintip sepasang mata pangeran yang memandang tajam langit-langit kamar. Bermain dengan imijinasi sedang bersanding dengan gadis idaman. Sebenarnya tak ingin dia meninggalkan sang gadis dalam kesendirian, tetapi mengapa beban terasa berat saat banyak syarat yang diajukan. Ah aku tak sanggup menghidupinya hanya dengan cinta. Sang pangeran pun pasrah.

Sang Bulan pun kecewa, ternyata kehadirannya tak selamanya membuat manusia bahagia. Kini dia tahu, sepasang hati yang terpisah itu menginginkan Matahari segera terbit. Mereka ingin memulai hari baru dengan lembaran baru, tanpa duka dan kecewa.

Semakin larut mereka terlelap dalam keheningan malam. Bulan hanya mampu menyelimuti mereka dengan sedikit cahaya temaramnya, berharap mereka lelap dan siap bangun menyongsong esok hari.

Kini sang Bulan sadar, dengan segala kecantikannya, dia belum bisa menyenangkan semua manusia. Perlahan dia bersembunyi di balik awan, menanti sang Matahari datang kembali.

Akhirnya, matahari dan Bulan pun saling tersenyum. Ternyata kilauan keemasan sang Matahari dan temaramnya cahaya Bulan takkan mampu membahagiakan semua manusia. Mereka sadar bahwa mereka tak memiliki kesempurnaan yang layak dibanggakan. Kini mereka juga sadar bahwa manusia pun tak layak mereka curi perhatiannya. Tak perlu berharap sanjungan manusia yang kadang tak tulus dan tak perlu takut akan cacian manusia yang takkan bisa merugikannya. Tetap bersujud dan taat saja pada Sang Maha Sempurna. Menyerahkan cinta sejati hanya padaNya.

No comments:

Post a Comment